LEGENDA ROWO PENING

Di sebuah desa kecil bernama Ngasem, hiduplah seorang putri yang baik hati bernama Endang Sawitri. Sayangnya, kehidupan bahagianya berubah ketika dia terkena kutukan dari seorang penyihir jahat. Dia harus kehilangan bentuk kemanusiaannya dan melahirkan seorang anak dalam wujud naga. Bayi tersebut diberi nama Baro Klinting. Meskipun berwujud naga, Baro Klinting memiliki hati yang tulus dan cinta yang mendalam terhadap ibunya dan desanya.

Setelah bertahun-tahun tumbuh dalam pelukan ibunya, Baro Klinting memutuskan untuk mencari cara untuk membebaskan ibunya dari kutukan dan mengembalikan dirinya menjadi manusia. Ia mendengar dari orang-orang desa akan kekuatan ajaib yang tersembunyi di Gunung Telomoyo. Dengan tekad yang bulat, ia meninggalkan desanya dan pergi ke puncak gunung untuk bertapa dan mencari jawaban.

Setibanya di Gunung Telomoyo, Baro Klinting memasuki hutan lebat di kaki gunung. Ia mengikat tubuhnya di puncak tertinggi, bersumpah untuk bertahan selama yang diperlukan hingga kutukan itu terhapus. Saat matahari terbenam, ia mulai meditasinya, menghadapi ketidakpastian dan rasa sakit akibat terluka oleh kutukan yang membelenggu jiwanya.

Namun, di balik pertapaannya, sekelompok pemburu dari Desa Pathok tidak mengetahui kehadirannya. Mereka melihat ekor besar Baro Klinting yang panjang dan tidak sadar bahwa itu adalah naga yang sedang bertapa. Tanpa berpikir panjang, mereka mulai memotong-motong daging ekor yang lezat untuk dibawa pulang.

“Perhatikan dagingnya! Pasti enak dan mengenyangkan!” teriak salah satu pemburu sambil memotong-motong.

Tak seorang pun dari mereka menyadari bahwa tindakan keji itu akan berakibat fatal. Baro Klinting merasakan semua itu, dan meskipun dia berusaha menahan rasa sakitnya, ia tahu bahwa tubuhnya yang terikat tidak bisa melawan.

Bertahun-tahun berlalu, Baro Klinting dengan tekun melakukan pertapaan, dan akhirnya, suatu malam, setelah melewati ujian berat, ia merasakan perubahan besar terjadi dalam dirinya. Ada cahaya bersinar dari dalam tubuhnya, dan dalam sekejap, wujud naga itu pun menghilang. Dia berubah menjadi seorang anak laki-laki tampan dengan kulit bersih, rambut hitam lebat, dan mata cerah yang memancarkan energi baru.

“Akanku buktikan kepada dunia siapa diriku sebenarnya!” ungkap Baro Klinting dengan semangat.

Setelah memulihkan diri, Baro Klinting mendatangi Desa Pathok untuk menghadapi mereka yang telah melukai dirinya. Namun, saat ia tiba di desa, warga terkejut melihat penampilannya yang lusuh dan penuh luka.

“Siapa kamu? Kenapa wajahmu terlihat seperti itu?” tanya salah satu warga dengan curiga.

“Aku Baro Klinting, anak Endang Sawitri. Dulunya aku naga, dan kutukan ini ingin aku hapus. Aku datang untuk menuntut balas.”

Warga desa, merasa terancam, menjauh dan menolak untuk percaya pada cerita Baro Klinting. Mereka menganggapnya sebagai anak liar yang ingin mengganggu mereka. Merasa tidak didengarkan, Baro Klinting menantang warga desa untuk mencabut sebuah lidi yang terjepit di tanah.

“Siapa yang berani mencabut lidi ini, akan mendapatkan satu keajaiban dari saya!” teriaknya.

Sekelompok warga berusaha mencabut lidi itu satu per satu, tetapi tidak ada yang berhasil. Meskipun orang dewasa yang kuat mencoba, tangan mereka tak mampu menggerakkan lidi yang tampak sederhana itu. Rasa penasaran mulai muncul di antara mereka, dan Baro Klinting pun maju dengan tegas. Dengan keyakinan dan kekuatan yang berasal dari dalam hatinya, ia mencabut lidi itu dengan satu tarikan.

Ketika lidi itu dicabut, ada suara gemuruh dari dalam tanah. Air deras mengalir dari lubang yang terbuka, menenggelamkan lereng Gunung Merbabu dan menciptakan danau baru yang diberi nama Rowo Pening.

“Lihatlah! Ini adalah anugerahku untuk kalian, air kehidupan dari tanah yang telah diabaikan!” seru Baro Klinting.

Warga desa terperanjat dan kini mulai menyadari kesalahan mereka. Mereka melihat betapa kuat dan luar biasanya Baro Klinting. Salah satu warga maju dan berkata, “Kami salah menilai dirimu. Maafkan kami, Baro Klinting. Kami tidak tahu bahwa kamu adalah putra Endang Sawitri.”

Mendapat pengakuan tersebut, Baro Klinting tersenyum. “Marilah kita bersama membangun kembali desa ini dan merawat Rowo Pening yang baru muncul.”

Baro Klinting bertekad untuk menggunakan kekuatannya untuk membantu desa. Dengan ketekunan dan keteguhan hati yang ia miliki, ia mulai mendidik warga untuk menjaga danau itu. Mereka belajar untuk mengolah airnya dan menggunakan sumber daya alam dengan lebih bijaksana.

Melalui kisah Baro Klinting, desa Ngasem dan Desa Pathok bersatu. Mereka belajar bahwa meskipun kehidupan sering memberi tantangan dan kesulitan, ketekunan dan hati yang tulus akan membuahkan hasil. Baro Klinting menjadi pahlawan desa, bukan hanya karena keajaiban yang dilakukannya, tetapi juga karena dia menunjukkan bahwa setiap makhluk, apapun wujudnya, layak untuk dihargai dan dicintai.

Sebarkan ke circle Anda