SURAT YANG HILANG

Bagian 1: Sebuah Rahasia yang Tertulis

Dita duduk di bangku taman sekolah, menatap langit yang perlahan berubah menjadi jingga. Di tangannya, ia memegang selembar kertas tebal, di mana kata-kata yang telah ia tulis sebelumnya kini terasa begitu berat. Ini adalah surat yang sudah ia persiapkan selama seminggu terakhir, surat untuk sahabat terbaiknya, Maya. Namun, kali ini surat itu berbeda—di dalamnya, bukan hanya cerita tentang hari-hari sekolah atau lelucon kecil yang biasa mereka bagi, tetapi sebuah pengakuan yang lebih dalam.

Dita menulis tentang perasaannya yang mulai tumbuh untuk seorang teman sekelas mereka, Arif. Sosok yang selalu duduk di depan kelas, yang pintar, ramah, namun memiliki sedikit misteri yang menarik bagi Dita. Setiap kali Arif tersenyum, jantung Dita berdebar-debar tanpa alasan yang jelas. Ia ingin sekali memberitahukan Maya, sahabat yang selalu mendukungnya, tentang perasaan ini. Tapi Dita juga tahu bahwa mengungkapkan perasaan semacam ini bukanlah hal yang mudah. Maya mungkin akan merasa kaget, atau lebih buruk lagi, menganggapnya aneh.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Dita menulis kalimat penutup suratnya:
“Maya, aku berharap kau bisa mengerti perasaanku. Aku hanya ingin berbagi ini denganmu. Terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku selama ini.”

Dita menatap surat itu lama, sebelum akhirnya memutuskan untuk memberikannya pada Maya setelah pelajaran olahraga nanti. Tetapi saat bel sekolah berbunyi, dia merasa cemas. Bagaimana jika Maya tidak mengerti? Bagaimana jika semuanya menjadi canggung? Dita menggelengkan kepala, berusaha mengusir kegelisahannya.

Saat pelajaran berakhir, Dita dan Maya berjalan bersama ke luar kelas, menuju lapangan tempat mereka biasa beristirahat. Dita merasakan tangannya yang menggenggam surat itu mulai berkeringat. Namun, di saat yang sama, Maya terlihat sedang sibuk berbicara dengan teman-temannya, membuat Dita merasa sedikit ragu.

Tiba-tiba, Maya memanggilnya. “Dita, ayo, kita duduk di sana! Aku ingin cerita tentang film yang aku tonton tadi malam.”

Dita pun berjalan menuju tempat yang ditunjuk Maya, namun tanpa sadar, ia meletakkan surat itu di atas bangku yang tadi mereka lewati. Dengan begitu, ia lupa mengambilnya kembali.

Hari berlalu, dan saat Dita ingin kembali melihat Maya, rasa cemas mulai menyerang. Surat yang harusnya diserahkan kepada sahabatnya itu hilang begitu saja. Ke mana perginya surat itu? Kenapa ia tidak mengingat untuk mengambilnya kembali? Dita merasa ketakutan, membayangkan apa yang mungkin terjadi jika orang lain menemukan surat itu—surat yang berisi perasaan yang belum sempat ia ungkapkan pada siapa pun, bahkan pada dirinya sendiri.


Bagian 2: Cemas dan Keraguan

Dita berjalan mondar-mandir di sekitar kelas, matanya sesekali melirik ke arah meja Maya yang masih kosong. Sejak kejadian tadi siang, dia tidak bisa berhenti berpikir tentang surat itu. Rasanya seperti ada yang mengganjal di dada, seperti ada sesuatu yang tertinggal. Ia merasa sangat bodoh karena bisa melupakan surat yang sangat penting itu.

Pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan. Bagaimana jika surat itu jatuh ke tangan orang lain? Bisa saja temannya yang lain, atau bahkan Arif, yang tidak sengaja menemukannya. Dita membayangkan wajah Arif yang membaca surat itu dengan canggung, lalu memberitahukannya pada seluruh kelas. Betapa malunya dia jika itu terjadi.

“Apa yang harus aku lakukan?” pikir Dita cemas. Di dalam benaknya, berbagai skenario buruk terus berputar. Mungkin Maya akan merasa tidak nyaman jika tahu Dita menyimpan perasaan lebih dari sekadar persahabatan. Mungkin, dengan surat itu, segala sesuatu akan berubah menjadi canggung antara mereka.

Setelah beberapa saat merenung, Dita memutuskan untuk mencari surat itu. Ia harus menemukannya, apa pun yang terjadi. Dita tahu tempat terakhir dia meletakkannya—di bangku taman sekolah, tepat di dekat tempat mereka biasa duduk. Tanpa membuang waktu, ia bergegas keluar kelas menuju tempat tersebut.

Namun, ketika sampai di taman, Dita mendapati bangku itu kosong. Tidak ada lagi surat yang tergeletak di atasnya. Hatinya semakin gelisah. Tidak ada tanda-tanda surat itu berada di sekitar tempat itu. Dita mulai merasa putus asa. Apakah surat itu benar-benar hilang? Atau mungkin seseorang sudah menemukan dan membacanya?

Saat ia berbalik hendak pergi, tiba-tiba Maya muncul di hadapannya, membawa senyum yang sedikit aneh di wajahnya. “Dita, ada yang ingin aku bicarakan,” katanya, suaranya terdengar serius, tapi ada sedikit rasa ingin tahu di matanya.

Dita merasa tubuhnya kaku. “Apa itu, Maya?” jawabnya dengan suara sedikit gemetar, berusaha terlihat biasa saja meskipun hati Dita berdetak lebih cepat.

Maya duduk di sampingnya dan menatap Dita dengan penuh perhatian. “Tadi aku menemukan sesuatu yang menarik di bangku taman. Suratnya… milikmu, kan?”

Dita merasa darahnya langsung berhenti mengalir. “Apa? Surat?” tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Maya mengangguk pelan dan merogoh tasnya. Dari dalam tas, ia mengeluarkan surat yang dimaksud—surat yang sudah Dita tulis penuh dengan perasaan yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Dita menatap surat itu dengan perasaan cemas bercampur lega. “Aku… aku sangat ingin memberikannya kepadamu, tapi…” Maya melanjutkan dengan sedikit ragu, “Kenapa kamu menulis begini, Dita? Apa yang sebenarnya kamu rasakan?”

Dita merasa seluruh tubuhnya kaku, dan seketika itu semua perasaan yang selama ini ia pendam mulai keluar begitu saja. Dia merasa seperti tenggelam dalam gelombang perasaan yang datang begitu mendalam dan kuat. “Maya, aku… aku… sebenarnya… aku suka pada Arif,” ucapnya akhirnya, suara Dita terhenti karena rasa gugup yang luar biasa.

Maya menatapnya dengan penuh perhatian, namun tak ada nada cemoohan atau kejutan di wajahnya. “Dita,” Maya berkata pelan, “Aku sudah tahu. Selama ini, aku sudah melihat bagaimana kamu melihatnya. Dan aku ingin kamu tahu, kamu tidak perlu merasa malu tentang perasaan itu.”

Dita terkejut. “Tapi… kenapa kamu tidak memberitahuku lebih dulu?”

Maya tersenyum dengan lembut. “Karena aku tahu kamu pasti ingin mengatakannya sendiri. Dan aku ingin kamu merasa nyaman untuk berbicara tentang apapun, kapanpun kamu siap.”

Dita merasa lega, meskipun gugup masih menyelimuti hatinya. “Aku takut, Maya. Takut semuanya jadi aneh antara kita,” ucap Dita dengan suara pelan.

Maya menggenggam tangan Dita dengan lembut. “Jangan khawatir. Perasaan itu normal. Apa pun yang kamu rasakan, aku akan selalu mendukungmu. Kalau kamu siap untuk bicara dengan Arif, aku yakin kamu akan baik-baik saja.”

Dita tersenyum canggung, merasa berat yang mengganjal di dadanya mulai berkurang. Walau masih merasa sedikit cemas, ia merasa lega karena akhirnya bisa berbicara terbuka dengan Maya. Tetapi, masih ada satu hal yang mengganggu pikirannya: bagaimana jika Arif merasa canggung atau bahkan menjauhinya setelah mendengar pengakuan ini?

Namun Maya hanya menatapnya dengan penuh keyakinan, memberi semangat tanpa berkata banyak. “Semua akan baik-baik saja, Dita. Percayalah.”


Bagian 3: Keberanian yang Tertunda

Malam itu, Dita merasa tidak bisa tidur. Pikiran tentang Arif dan bagaimana harus menghadapinya keesokan harinya membuat perasaannya kacau. Meski sudah merasa sedikit lega setelah berbicara dengan Maya, rasa cemas dan keraguan tetap menyelimuti dirinya.

“Sekarang aku harus bicara dengan Arif,” pikir Dita. “Tapi bagaimana aku memulainya? Apa yang harus kukatakan?” Dia memutar-mutar kata-kata dalam pikirannya, namun tak ada satu pun yang terasa benar-benar tepat.

Maya telah memberikan dukungan yang besar, tapi Dita tahu bahwa ini adalah langkah besar untuk dirinya. Dia tak ingin terburu-buru, tetapi juga tak ingin menunda-nunda lagi. Ia merasa seolah-olah Arif akan selalu menjadi misteri yang jauh, seorang teman yang sulit dijangkau karena kesibukannya, tapi entah mengapa Dita merasa begitu dekat dengan sosoknya. Dita merasa bahwa sudah saatnya untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan, tanpa menunggu lebih lama lagi.

Hari berikutnya, setelah pelajaran matematika berakhir, Dita melihat Arif sedang berdiri di depan kelas, membaca buku catatan. Suasana kelas sudah mulai sepi, para siswa berlarian menuju kantin atau tempat lain. Namun Dita tetap berdiri di ambang pintu, tak tahu harus mulai dari mana. Maya yang sedang berjalan menuju kantin melirik Dita dan memberi anggukan penuh pengertian, seolah berkata, “Ini saatnya, Dita.”

Dengan langkah ragu, Dita akhirnya mendekati Arif. Hatinya berdebar begitu kencang, seolah-olah dunia ini hanya berputar di sekitar mereka berdua.

“Arif,” suara Dita terdengar gemetar, namun ia mencoba untuk terdengar tenang. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

Arif menoleh dengan senyum kecil. “Oh, ada apa, Dita?” tanyanya, wajahnya tampak sedikit terkejut. “Kau kelihatan agak serius.”

Dita menelan ludah. “Aku… aku hanya ingin mengatakannya sekarang, sebelum aku semakin cemas.”

Arif memandangnya, lalu mengangguk. “Tentu, apa yang ingin kau katakan?”

Dita terdiam sejenak, merasakan ketegangan di udara. Dia menarik napas panjang, menatap mata Arif yang tampak begitu jernih dan penuh perhatian.

“Aku… aku suka padamu, Arif,” katanya, dan kata-kata itu keluar dengan terbata-bata, tetapi jelas. “Aku sudah lama merasa seperti ini, dan aku merasa kalau ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku.”

Dita menunduk, wajahnya memerah. Ia berharap Arif tidak akan menjauh darinya atau menganggapnya aneh. Namun, ketika ia menunggu jawaban, tidak ada yang bisa ia baca dari ekspresi Arif. Waktu terasa berhenti.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Arif akhirnya membuka mulutnya. “Dita…” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Aku senang kamu mengatakannya. Sejujurnya, aku juga merasa nyaman denganmu, dan aku sangat menghargai persahabatan kita. Tapi, aku juga ingin jujur padamu… Aku belum siap untuk hubungan lebih dari itu. Aku sedang fokus pada hal lain sekarang.”

Dita merasakan campuran antara lega dan kecewa. Bagian dari dirinya ingin mendengar jawaban yang lebih manis, namun bagian lain merasa sedikit lega karena Arif tidak menjauhinya. “Aku mengerti,” jawab Dita pelan. “Aku hanya ingin kamu tahu bagaimana perasaanku.”

Arif tersenyum ramah, meski sedikit canggung. “Terima kasih sudah mengungkapkannya, Dita. Aku harap kita bisa tetap berteman seperti biasa. Kamu adalah teman yang sangat berharga bagiku.”

Dita mengangguk, merasa sedikit lega. “Tentu, Arif. Aku tetap ingin berteman denganmu,” jawabnya, meski hatinya masih sedikit terluka. Tetapi ia tahu bahwa pengakuannya tadi adalah langkah yang benar, langkah untuk membebaskan dirinya dari perasaan yang sudah lama dipendam.

Maya yang melihat kejadian itu dari kejauhan datang menghampiri Dita dengan senyuman penuh pengertian. “Gimana?” tanya Maya, memeluk sahabatnya dengan lembut.

Dita tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, Maya. Mungkin ini memang bukan waktunya. Tapi setidaknya aku sudah mengatakannya.”

Maya mengangguk dengan penuh dukungan. “Dan kamu sangat berani, Dita. Itu yang paling penting. Tak peduli apa hasilnya, kamu sudah membebaskan dirimu dari rasa takut itu.”

Dita tersenyum lebih lebar, merasakan sedikit kebebasan. Mungkin Arif bukan orang yang tepat untuk saat ini, tapi yang lebih penting adalah dia belajar untuk menghadapi perasaannya, mengungkapkan apa yang ia rasakan tanpa takut atau ragu. Dan itu adalah awal dari banyak langkah keberanian lainnya yang akan datang dalam hidupnya.


Bagian 4: Menerima dan Melangkah Maju

Minggu-minggu setelah percakapan dengan Arif berjalan dengan lebih ringan dari yang Dita bayangkan. Meskipun awalnya hatinya terasa sedikit terluka, seiring berjalannya waktu, ia merasa lebih lega. Tidak ada yang mengubah hubungan mereka, dan Dita akhirnya menyadari bahwa pengakuannya itu bukan hanya tentang Arif, tetapi juga tentang dirinya sendiri—tentang keberanian untuk jujur pada perasaan dan menerima kenyataan, apapun itu.

Setiap hari, Dita merasa lebih kuat. Teman-temannya tidak ada yang memperlakukannya berbeda, dan Maya terus memberinya dukungan, seperti sahabat sejati. Bahkan Arif, meskipun tidak merasakan hal yang sama, tetap memperlakukan Dita dengan baik. Mereka tetap berteman seperti biasa, berbicara tentang pelajaran dan hal-hal lain yang ringan. Tidak ada yang berubah secara drastis, dan itu adalah hal yang paling Dita syukuri.

Suatu hari, saat sedang berjalan di kantin, Dita melihat Arif sedang duduk dengan teman-temannya. Tanpa berpikir panjang, ia menghampiri meja itu dan tersenyum. Arif menoleh dan menyambutnya dengan senyum ramah. “Dita, ada apa?” tanyanya dengan nada ceria.

Dita merasa tenang saat berbicara dengannya. “Aku hanya ingin bilang, terima kasih karena sudah mendengarkan perasaanku waktu itu. Aku merasa lebih baik sekarang.”

Arif tersenyum. “Aku senang mendengarnya, Dita. Kita tetap bisa berteman kan?” tanyanya, seolah-olah menegaskan bahwa persahabatan mereka tetap utuh.

“Ya, tentu saja,” jawab Dita, merasa sebuah beban menghilang. “Kita bisa jadi teman baik, seperti sebelumnya.”

Dita menyadari, kadang-kadang perasaan yang kita pendam hanya perlu diungkapkan untuk kita bisa merasa bebas. Tak selalu berakhir seperti yang kita harapkan, tapi yang penting adalah langkah untuk menghadapinya. Dalam perjalanan menuju kedewasaan, Dita tahu bahwa ada banyak hal yang harus dipelajari, dan terkadang hasil yang tidak sesuai dengan harapan pun bisa menjadi pelajaran berharga.

Hari demi hari berlalu, dan meskipun perasaan Dita terhadap Arif masih ada, ia sudah mulai menerima kenyataan bahwa perasaan itu mungkin hanya sebatas teman. Tetapi, ia juga tahu bahwa pertemanan mereka lebih penting daripada rasa cinta yang mungkin tidak bisa diwujudkan saat ini. Dita merasa bangga karena sudah mampu mengungkapkan perasaannya, bahkan jika itu tidak berakhir dengan cara yang dia inginkan.

Suatu sore, Maya mengajaknya untuk duduk di taman, tempat mereka sering berbincang tentang berbagai hal. “Dita, aku tahu kamu sudah merasa lebih baik sekarang,” kata Maya, “tapi aku ingin kamu tahu bahwa apapun yang terjadi, kamu tetap keren. Tidak mudah untuk menghadapi perasaan seperti itu.”

Dita tersenyum lebar. “Terima kasih, Maya. Aku rasa, aku belajar banyak dari semua ini. Tentang bagaimana aku bisa lebih jujur pada diriku sendiri.”

Maya tersenyum balik. “Dan kamu juga belajar bahwa kita bisa punya perasaan yang berbeda, dan itu nggak mengubah apapun. Kamu tetap sahabatku yang luar biasa.”

Dita merasa sangat berterima kasih kepada Maya. Ia sadar bahwa tidak perlu takut untuk mengungkapkan perasaan atau menjadi diri sendiri. Tidak peduli bagaimana hasilnya, yang penting adalah memiliki keberanian untuk menghadapinya dan belajar dari pengalaman itu.

Dalam perjalanan hidupnya yang masih panjang, Dita tahu bahwa masih banyak hal yang akan datang. Arif mungkin bukan orang yang tepat untuknya, tapi itu bukan akhir dari segalanya. Ini adalah awal dari pemahaman yang lebih dalam tentang cinta, persahabatan, dan, yang paling penting, tentang dirinya sendiri. Kini, ia bisa melangkah dengan lebih percaya diri, siap menghadapi apa pun yang akan datang.